Oleh: Heni Purwono
Bius percik kembang api dan mercon malam tahun baru yang lalu barangkali melupakan kita pada nasib saudara-saudara sesama umat manusia di Palestina yang tengah menderita karena percik kembang api dari mortir dan aneka senjata berat lainnya yang dimuntahkan tentara Israel. Pun demikian dengan bising terompet di negeri kita, juga seiring dengan bising deru peluru dan pesawat tempur yang membombardir Jalur Gaza dan sekitarnya.
Ironis, sebagai sesama umat manusia, kontradiksi sedemikian jomplang terjadi, bahkan kita sebagian besar di negeri ini terkesan menikmati tanpa mau peduli.
Perayaan tahun baru seakan telah mentradisi dan menjadi ritual sakral baru. Padahal tradisi yang demikian tidak sepantasnya kita tumbuh kembangkan. Terlebih ditengah krisis ekonomi global dan juga krisis kemanusian akibat pembantaian yang dilakukan oleh tentara Israel pada rakyat Palestina, kita justru merayakan tahun baru dengan budaya dan tradisi yang berakar dari bangsa Yahudi.
Terompet sebagai tradisi tahun baru merupakan kebiasaan bangsa Yahudi dalam menyambut tahun baru mereka. Terompet yang disebutnya sebagai Shofar, sejenis terompet dari tanduk binatang, dimaksudkan untuk merefleksi diri. Tradisi ini konon sudah ada sejak 1500 tahun sebelum masehi, dan sebelumnya digunakan juga sebagai alat ritual keagamana dan juga tradisi militer khususnya sebelum perang (Kompas, 31/12). Nah, pantaskah kita meniru kebiasaan bangsa pembantai tersebut? Bukankah kita sama saja dengan merayakan militer Isrtael yang akan memerangi bangsa Palestina yang tidak berdaya?
Kebiasaan yang menjadi karakter
Piere Bourdieu, seorang sosiolog Prancis melihat kebiasaan (habitus) sebagai sebuah pengkondisian yang dikaitkan dengan syarat-syarat keberadaan suatu kelas atau golongan (Anhar Widodo, 2008). Dan hasil suatu habitus adalah sistem-sistem disposisi yang tahan waktu dan diwariskan yang dimaksudkan untuk berfungsi sebagai struktur-struktur yang membentuk. Atau dalam bahasa mudahnya, habitus akan melahirkan karakter (Marwah Daud Ibrahim, 2003).
Ketakutan saya, habitus semacam kebiasaan perayaan tahun baru yang tanpa makna, tanpa melihat situasi dan kondisi sekitar kita, akan menjadikan kita lena, dan pada akhirnya merendahkan derajat kemanusiaan kita yang seharusnya tepo sliro terhadap kondisi manusia lainnya.
Terlebih ketika perayaan-perayaan hal yang remeh temeh seperti saat ini tanpa kita tahu latar belakang dan sejarah perayaan tesebut, salah-salah nantinya kita terjebak pada kebiasaan yang akhirnya mengakar dalam karakter kita, karakter buta terhadap makna.
Jangan sampai kita membeo pada tradisi yang tak jelas akar sejarahnya, terlebih membeo pada tradisi bangsa pembantai seperti Israel, karena sesungguhnya masih banyak tradisi lokal kita yang jelas-jelas adhi luhung dan menjadi kewajiban kita sebagai penerus bangsa untuk melestarikannya.
Bius percik kembang api dan mercon malam tahun baru yang lalu barangkali melupakan kita pada nasib saudara-saudara sesama umat manusia di Palestina yang tengah menderita karena percik kembang api dari mortir dan aneka senjata berat lainnya yang dimuntahkan tentara Israel. Pun demikian dengan bising terompet di negeri kita, juga seiring dengan bising deru peluru dan pesawat tempur yang membombardir Jalur Gaza dan sekitarnya.
Ironis, sebagai sesama umat manusia, kontradiksi sedemikian jomplang terjadi, bahkan kita sebagian besar di negeri ini terkesan menikmati tanpa mau peduli.
Perayaan tahun baru seakan telah mentradisi dan menjadi ritual sakral baru. Padahal tradisi yang demikian tidak sepantasnya kita tumbuh kembangkan. Terlebih ditengah krisis ekonomi global dan juga krisis kemanusian akibat pembantaian yang dilakukan oleh tentara Israel pada rakyat Palestina, kita justru merayakan tahun baru dengan budaya dan tradisi yang berakar dari bangsa Yahudi.
Terompet sebagai tradisi tahun baru merupakan kebiasaan bangsa Yahudi dalam menyambut tahun baru mereka. Terompet yang disebutnya sebagai Shofar, sejenis terompet dari tanduk binatang, dimaksudkan untuk merefleksi diri. Tradisi ini konon sudah ada sejak 1500 tahun sebelum masehi, dan sebelumnya digunakan juga sebagai alat ritual keagamana dan juga tradisi militer khususnya sebelum perang (Kompas, 31/12). Nah, pantaskah kita meniru kebiasaan bangsa pembantai tersebut? Bukankah kita sama saja dengan merayakan militer Isrtael yang akan memerangi bangsa Palestina yang tidak berdaya?
Kebiasaan yang menjadi karakter
Piere Bourdieu, seorang sosiolog Prancis melihat kebiasaan (habitus) sebagai sebuah pengkondisian yang dikaitkan dengan syarat-syarat keberadaan suatu kelas atau golongan (Anhar Widodo, 2008). Dan hasil suatu habitus adalah sistem-sistem disposisi yang tahan waktu dan diwariskan yang dimaksudkan untuk berfungsi sebagai struktur-struktur yang membentuk. Atau dalam bahasa mudahnya, habitus akan melahirkan karakter (Marwah Daud Ibrahim, 2003).
Ketakutan saya, habitus semacam kebiasaan perayaan tahun baru yang tanpa makna, tanpa melihat situasi dan kondisi sekitar kita, akan menjadikan kita lena, dan pada akhirnya merendahkan derajat kemanusiaan kita yang seharusnya tepo sliro terhadap kondisi manusia lainnya.
Terlebih ketika perayaan-perayaan hal yang remeh temeh seperti saat ini tanpa kita tahu latar belakang dan sejarah perayaan tesebut, salah-salah nantinya kita terjebak pada kebiasaan yang akhirnya mengakar dalam karakter kita, karakter buta terhadap makna.
Jangan sampai kita membeo pada tradisi yang tak jelas akar sejarahnya, terlebih membeo pada tradisi bangsa pembantai seperti Israel, karena sesungguhnya masih banyak tradisi lokal kita yang jelas-jelas adhi luhung dan menjadi kewajiban kita sebagai penerus bangsa untuk melestarikannya.
Heni Purwono
Mahasiswa Magister Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro Semarang
Direktur Eksekutif Pusat Studi Penelitian Sejarah dan Sosial (PUSPLESS)
Mahasiswa Magister Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro Semarang
Direktur Eksekutif Pusat Studi Penelitian Sejarah dan Sosial (PUSPLESS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar